Jumat, 23 Juli 2010

Filsafat Islam..

Sebelum masuk kepada pokok masalah yaitu tentang sejarah masuknya Filsafat Yunani dan pengaruhnya pada pemikiran Islam terlebih dahulu akan dikemukakan secara ringkas Filsafat Yunani dan perkembangannya. Oleh karena bahan-bahan yang dijadikan pemikiran oleh Filosof Yunani dijadikan pula bahan pemikiran oleh sarjana-sarjana Islam. Di lihat dari perkembangannya, kelihatan bahwa ahli-ahli Filsafat Yunani itu secara berangsur-angsur mendekati faham ke Tuhanan, meskipun belum sempurna.
Kebanyakan para ahli menyatakan bahwa pemikiran filsafat, mulai berkembang sekitar permulaan abad ke 6 sebelum Masehi. Ia lahir di kota perantauan Yunani yang terletak dipesisir Asia kecil dan pada zaman keemasannya dia berpusat di Athena, kira-kira pada pertengahan abad 5 sebelum Masehi. Pemikiran filsafat pada masa itu disebut masa purba Yunani.
Adapun faktor yang mempersiapkan lahirnya filsafat Yunani, sebagaimana dikemukakan oleh Dr. K. Bertens secara garis besarnya adalah sebagai berikut :
1. Pada bangsa Yunani, seperti pula bangsa-bangsa lain terdapat mitologi yang kaya serta luas. Mitologi tersebut dapat dianggap sebagai perintis ke arah lahirnya filsafat karena mitologi itu merupakan percobaan untuk mengerti dan memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang hidup dalam hati manusia.
2. Pada bangsa Yunani itu terdapat suatu kesusastraan Yunani menurut arti yang luas sehingga dapat meliputi amsal-amsal, teka-teki, dongeng-dongeng dan sebagainya.
3. Adanya pengaruh ilmu-ilmu pengetahuan yang pada waktu itu sudah terdapat di Timur kuno, karenanya orang Yunani merasa berhutang budi kepada bangsa-bangsa lain dalam menerima beberapa unsur ilmu pengetahuan.
Bila kita pelajari ilmu pengetahuan Yunani, maka kita akan dapati ilmu-ilmu itu telah bercampur dengan pengaruh-pengaruh Timur, seperti Iran, Babilonia dan Mesir. Pengaruh-pengaruh ini dapat dilihat dalam buku-buku Plato disamping buku-buku Yunani lainnya. Pengaruh Timur terhadap mereka sangat jelas.
Dengan demikian mungkin ada benarnya kalau dikatakan bahwa filsafat Yunani itu hasil karya filosof-filosof Yunani semata-mata, melainkan tepatnya sebagai hasil saringan dari kebudayaan Yunani sebelum mereka berfilsafat.
Periode filsafat Yunani ini dapat dibagi kepada :
1. Periode filsafat alam dari tahun 600 SM sampai 450 SM. Filsafat pada periode ini membicarakan persoalan wujud.
2. Periode filsafat kemanusiaan, berlaku dari tahun 450 SM sampai 400 SM, yang membicarakan pertalian etika dan sosial dari manusia.
3. Periode filsafat sistematik, dari tahun 400 SM sampai 300 SM. Selama periode ini seluruh persoalan manusia telah dihubungkan oleh pikiran manusia menjadi satu keseluruhan.1

Sedangkan periode filsafat Yunani sebelum Islam dapat dibagi kepada dua pase :
1. Pase Hellenisme yaitu pase dimana pemikiran filsafat hanya dimiliki oleh orang Yunani, berlanngsung sejak abad ke VI atau ke V sampai akhir abad ke IV SM.
2. Pase Hellenisme Romawi yaitu meliputi semua pemikiran filsafat yang ada pada masa kerajaan Romawi, serta ikut membawakan penunggalan fikiran Yunani, antara lain pemikiran Romawi di Barat dan pemikiran Mesir dan Syiriah di Timur. Berlangsung dari akhir abad ke IV SM sampai pertengahan abad ke VI Masehi di Bizantim dan Roma atau sampai pertengahan abad ke VII Masehi di Iskandaria atau sampai abad ke VIII Masehi di Syiriah dan Irak.2


2.2. Masuknya Filsafat Yunani ke Dunia Islam.
2.2.1 Pengenalan pertama antara Islam dan Filsafat Yunani.
Pertemuan kebudayaan sesuatu bangsa biasanya tidak lepas daripada proses yang mendahuluinya. Bangsa Arab pada mulanya tidak menduga di negeri-negeri taklukannya tersebar khazanah peradaban dan kebudayaan yang sebelumnya belum mereka kenal.
Di beberapa kota di Timur sebelum bangsa Arab datang kesana atau sebelum Islam, sudah terkenal menjadi pusat kehidupan kebudayaan Yunani. Alexander Agung telah mendirikan suatu kerajaan besar, yang bukan saja meliputi juga pelbagai kerajaan Timur. Demikianlah sewaktu Alexander Agung mangalahkan Darius raja Persia pada tahun 331 SM, dia datang kesana dengan penuh perhatian dan bijaksana. Terhadap kebudayaan negeri yang dijajahnya, dia mengadakan penyatuan antara kebudayaan Yunani dan Persia. Untuk mendapatkan simpati dari rakyat jajahannya dia mengadakan persesuaian misalnya dengan berpakaian secara Persia, sebaliknya orang-orang Persia banyak yang diangkat menjadi pengiring-pengiringnya. Ia kawin dengan Statira anak Darius, yang diikuti pula oleh 24 orang dari jenderal-jenderalnya dan 10.000 prajuritnya kawin dengan wanita-wanita Persia di Susa atas anjurannya. Selain dari mengadakan perkawinan, ia mendirikan pula kota-kota dan koloni-koloni yang penduduknya diatur sedemikian rupa sehingga terdiri dari dua golongan Yunani dan Persia.
Alexander pada tahun 323 SM meninggal dunia dan kesatuan politik kerajaan menjadi pecah. Tetapi sungguhpun demikian sejak waktu itu kebudayaan Yunani tidak lagi terbatas pada kota-kota Yunani melainkan mencakup juga seluruh wilayah yang ditaklukan Alexander. Karenanya tidak
mengherankan kalau peninggalan-peninggalan Yunani berupa kebudayaan dan peradaban itu masih kelihatan membekas di daerah-daerah ini. Pusat-pusat pengetahuan dan filsafat Yunani diwaktu itu adalah Alexanderia, Antioch dan Bachtra. Di abad ke III M pusat-pusat kebudayaan ini ditambah dengan kota Jundishafur tidak jauh-jauh dari kota Bagdad.
Sehubungan dengan ini Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya “Al Muhabibul Islamiyah” menyatakan pase akhir masa Umayyah dan mnginjak masa Abbasiyah, filsafat Hindia dan Yunani itu memasuki pemikiran-pemikiran kaum muslimin melalui jalur orang-orang Persia. Hal ini disebabkan kebudayaan Persia menjelang Islam telah dipengaruhi oleh filsafat Yunani melalui orang-orang Suryani yang mana mereka itu sebenarnya telah banyak mewarisi filsafat Yunani.
Ada pula yang dikatakan bahwa kebudayaan-kebudayaan Yunani yang mereka miliki itu diambilnya dari Iskandaria dan Antioch lalu mereka kembangkan di Timur serta mereka bawakan ke pusat-pusat akademi yang ada di Ruha, Nasibain, atau Nashibis, Harran dan Yundishapur.
Filsafat Yunani yang mereka temui disana dan yang membantu kaum muslimin menganalisanya adalah filsafat yang beraliran Neoplatonis. Filsafat yang beraliran ini oleh bangsa Persia ditemukan sejak masa Kisra Anusyirwan ( 531 – 579 M ). Dialah sebenarnya yang telah meletakkan batu pertama dalam pendirian pusat pendidikan di Yundishapur itu. Dijadikannya tempat itu suatu lembaga pengetahuan tentang filsafat dan kedokteran sedangakan guru besarnya adalah sarjana-sarjana dari golongan Masehi Nestarian.
Dekat dengan masa-masa itu, pada abad ke 7 dan 8 orang-orang Arab merebut Syria, Mesir, Afrika Utara dan sebahagian kota Iskandaria jatuh pada tahun 640 M dan sekolah-sekolahnya ditutup. Melalui filosof-filosof Kristen di Syria orang-orang Arab mulai berkenalan dengan filosof Yunani. Dengan demikian filosof Yunani yang sampai kedunia Islam tidaklah seperti yang ditinggalkan oleh orang-orang Yunani sendiri, tetapi filsafat itu sampai kepada mereka sesudah melalui pemikiran Hellanisme Romawi yang bercorak tertentu dan sudah barang tentu pula mempengaruhi kepada filsafat itu.
Faktor lain yang menyebabkan peninggalan Yunani diketemukan kaum Muslimin dan yang penting diketahui adalah seawktu Islam berhasil menguasai wilayah-wilayah antara perbatasan Tiongkok dan Perancis maka naskah-naskah peninggalan Yunani banyak yang dapat diselamatkan kemudian diterjemahkan, sehingga pengaruh Yunani banyak mempengaruhi dalam kehidupan pemikiran orang-orang Islam.

2.2.2 Faktor yang menyebabkan kaum Muslimin mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani.
Pada dasarnya, ajaran Islam itu mendorong penganut-penganutnya untuk bebas memperdalam ilmu pengetahuan dari manapun datangnya. Ini ditegaskan baik dalam nash Al-Qur’an, maupun dalam Al-Hadits. Namun sejarah mencatat, bahwa bentuk tulisan-tulisan ilmiah pada masa-masa sebelum Abbasiyah itu belum kelihatan nampak.Apalagi kalau melihat kebelakang, misalnya pada masa Khalifaur Rasyidin, karya penulisan itu hanya terdapat pada penulisan Al-Qur’an dan pada masa sesudahnya penulisan Al-Hadits. Memang setelah itu tidak dilupakan bahwa ada pula penulisan-penulisan yang dilakukan. Namun penulisan-penulisan itu dilakukan buat ilmu-ilmu tentang ke Islaman seperti ilmu bahasa, sejarah dan riwayat, ilmu fiqhi dan sebagainya. Tetapi dengan taraf demikian sudah menggambarkan bahwa karya-karya ilmiah itu dalam Islam sudah mulai nampak.
Adapun ilmu-ilmu yang datang dari luar teristimewa ilmu pengetahuan Yunani, baru terjadi pada masa-masa Abbasiyah. Tetapi kegiatan ilmu pengetahuan pada masa inipun pada mulanya bertujuan untuk keselarasan dalam usahanya dengan pembangunan kota yaitu Bagdad dan tujuan-tujuan praktikum. Sebab yang pertama kali dikembangkan adalah pengetahuan-pengetahuan praktek seperti kedokteran, geometri dan astronomi. Sedangkan mengenai ilmu yang dinamakan dengan filsafat baru muncul pada masa tenggang waktu setengah abad sesudah itu, yang sudah barang tentu ilmu
yang bersifat amaly tetap juga dikembangkan. Kemungkinan sekali masa itu adalah sejak Harun Ar Rasyid menjadi Khalifah.
Harun Ar Rasyid menjadi khalifah pada tahun 786 M. Sebelum ia belajar di Persia dibawah bimbingan seorang guru berkebangsaan Persia yaitu dibawah asuhan Yahya Al Barmaky. Dengan demikian ia banyak dipengaruhi oleh kemegaran keluarga Barmak pada ilmu pengetahuan dan filsafat.3 Dengan asuhan Al-Barmak itu ia dapat mengatasi dan membina sarjan-sarjana Islam yang menterjemahkan ilmu-ilmu Yunani dengan memberikan imbalan yang cukup memadai. Jadi dibawah pemerintahan Harun ar Rasyid itu sudah dimulai menterjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab. Dialah yang sebenarnya memimpin expedisi-expedisi ke negeri Romawi dan telah berhasil mengumpulkan manuskrip-manuskrip Yunani yang masih ada di Amurium dan Angkara. Keadaan seperti ini dilanjutkan pula oleh putranya Al-Makmun dan dimasa inilah puncak keemasan penterjemahan buku-buku Yunani, sehingga pada masa ini seakan-akan tak satu bidang pengetahuan Yunani pun yang dilupakan, mulai dari filsafat sampai kepada ilmu pasti, ilmu pengobatan dan ilmu tumbuh-tumbuhan.
Pada waktu Al-Makmun memerintah ( 813 M ) bangsa Arab tahu benar akan peninggalan Yunani itu dan perhatian Al-Makmun sendiri kepada ilmu pengetahuan itu, dapat memperlengkapi para sarjana Arab dengan sumber-sumber tempat menghilangkan dahaga keintelekan mereka.
Di Bagdad dia mendirikan sebuah majlis penterjemah yang khusus diberi nama Daarul Hikmah, yang pimpinannya diserahkan kepada seorang Kristen penganut Nestarius, Hunain bin Ishak. Hunain bin Ishak adalah tokoh utama dalam lapangan penterjemahan. Penterjemahan-penterjemahan buku-buku Yunani itu pertama-tama dilakukan kedalam bahas Sinisc ( Suriani ), bahasa ilmu pengetahuan di Mesopotamia, kemudian kedalam bahasa Arab dan akhirnya penterjemahan diadakan langsung kedalam bahasa Arab. Maka diterjemahkanlah pada masa keemasan penterjemahan itu buku-buku filsafat matematika, etika dan psychologi, kedalam bahasa Arab.
Faktor lain yang meminta perhatian kaum muslimin mempelajari filsafat ialah munculnya berbagai penyimpangan dan penyesatan-penyesatan dalam lapangan aqidah yang banyak dilakukan oleh perlakuan-perlakuan orang-orang Mulhid, yang banyak mengemukakan senjata filsafat. Sedangkan dalam pada itu pula dikalangan kaum muslimin sendiri, setelah banyak bercampur gaul dengan bangsa-bangsa lain, tumbuh bermacam-macam pendapat dan pemikiran yang satu sama lain membawakan corak pemahaman sendiri-sendiri dalam masalah-masalah tertentu dalam agamanya. Melihat kenyataan ini kaum muslimin lebih berkeinginan lagi untuk menyelidiki dan mengetahui lebih jauh tentang filsafat, untuk selanjutnya dapat dipergunakan buat mempertahankan keyakinan agamanya terutama terhadap serangan agama-agama lain.


2.3. Pengaruh Filsafat Yunani pada Pemikiran Islam.
Dengan memperhatikan keterangan-keterangan yang sudah lalu, nyatalah bahwa filsafat Yunani telah ikut berperan sebagai tenaga kebudayaan yang besar dalam sejarah pemikiran Islam. Sebab sementara pikiran Yunani telah dapat mempengaruhi aliran atau sekte agama skolantik, ia telah membukakan suatu kenyataan telah dapat membukakan pandangan para ahli-ahli pikiran Islam. Hanya sedikitlah waktu yang dipergunakan kaum muslimin guna menyelami alam pikiran yang dipunyai Yunani itu. Dan barangkali akan terasa aneh, kalau waktu yang relatif singkat itu dapat membawa pengaruh-pengaruh baru terhadap pemikir-pemikir Islam.
Dalam tiga perempat abad sesudah berdirinya kota Bagdad dunia Arab telah memiliki karya-karya penafsir dan pengulas Neo Platinus kenamaan dan sebahagian besar tulisan Galeu tentang ilmu kedokteran maupun karya-karya ilmiah orang-orang Persia dan India. Hanya dengan beberapa degade, sarjana-sarjana Arab telah dapat mengasimilasikan apa-apa yang dimiliki Yunani untuk kemudian dikembangkan.
Dalam perkembangannya memang dunia pikir Islam menerima adanya pengaruh pikiran Yunani itu, baik terhadap golongan yang dikenal sebagai kaum Mu’tazilah, maupun terhadap pemikiran golongan yang disebutnya filosof-filosof Islam. Kaum Mu’tazilah dalam menerima filsafat dan menerapkannya dalam metode berpikir itu kelihatannya adalah untuk tugas-tugas mempertahankan agama. Golongan Mu’tazilah ini mengalami kepesatan berkembang pada masanya Al-Makmun. Barangkali ini disebabkan oleh karena AL-Makmun itu sendiri adalah seorang yang menganut paham Mu’tazilah.
Kecenderungan Al-Makmun sendiri terhadap penggunaan ratio dan faham Mu’tazilah yang mempertahankan bahwa nash-nash agama harus sesuai dan cocok dengan pertimbangan akal telah mendorong dia untuk mencari penyesuaian positifnya di dalam karya-karya filsafat orang-orang Yunani.4
Disamping mempengaruhi ulama-ulama teologi Islam, yaitu kaum Mu’tazilah, filsafat Yunani yang beraliran Neo Platonis berpengaruh pula kepada sementara golongan kaum muslimin, terutama sekali terhadap kalangan kaum Sufis dan mistik. Dikatakan mempengaruhi, oleh karena filasafat Yunani Platonis mengatakan bahwa wujud ini memancar dari Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Tetapi dengan masuknya ke alam materi roh itu menjadi kotor dan untuk bisa kembali ke asalnya roh tersebut harus dibersihkan, sementara pensucian baru bisa terwujud dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan. Faham tersebut mempengaruhi munculnya sufisme di kalangan umat Islam.
Oleh karena pemikiran Yunani tersebut pada dasarnya asing terhadap kaum muslimin, yang tentunya corak keasliannya tidak bisa mereka kenal, maka dengan demikian tidak mungkin ada persamaan corak. Bentuk asli akan berlainan dengan bentuk yang dihasilkan sebagai produk penterjemahan. Oleh karenanya kaum muslimin yang menamakan dirinya filosof-filosof Islam mengusahakan pemaduan dalam menemukan filsafatnya. Dengan bentuk pemaduan ini nantinya melahirkan filsafat yang bercorak tersendiri yaitu filsafat Islam.
Usaha pemaduan itu pada pokoknya meliputi dua jalan :
1. Dengan jalan mengulas atau mengadakan tafsiran terhadap pikiran-pikiran filsafat Yunani. Yang demikian itu bertujuan untuk menghilangkan kejanggalan-kejanggalan dan mempertahankan pikiran filsafat yang berlawanan.
2. Dengan jalan mengadakan pemaduan filsafat di satu pihak dengan agama di lain pihak.
Cara yang kedua ini jelas menggambarkan suatu penerimaan terhadap filsafat Yunani, sebab-sebab usaha untuk menghilangkan perlawanan antara filsafat-filsafat dengan agama berarti bahwa kepercayaan filsafat Islam terhadap filsafat tidak kurang dari kepercayaan mereka terhadap agama Islam dan kedua-duanya dipandang satu derajat.
Dengan demikian nyatalah bahwa filsafat Islam adalah proses dari pada pemikir-pemikir Islam sendiri. Dia mempunyai kepribadian sendiri pula. Kepribadiannya nampak pada sistem pemikirannya, teratur dan berpangkal kepada pikran-pikiran Aristoteles. Selain itu dia memperbaiki kekurangan-kekurangan Aristoteles dengan mengemukakan pikiran-pikiran baru, sedangkan filsafatnya adalah mempertemukan agama dengan filsafat.


2.4. Beberapa Permasalahan.
1. Filsafat, dalam kedudukannya sebagai methode berpikir diterima baik oleh kaum Muslimin. Bertitik tolak dari ini, adakah ahli seorang teologi ( di sini ahli teologi Islam) dapat juga dikatakan filosof Islam. Kalau saja misalnya bisa dikatakan demikian, tidaklah akan kacau dalam kedudukannya masing-masing, mengingat seorang ahli teologi memandang filsafat itu sebagai senjatanya dalam mujadalah, sedangkan seorang filosof ( disini filosof Islam ) seakan-akan belajar filsafat itu untuk berfilsafat pula. Padahal sering dikatakan, bahwa tempat pijakan Teologi adalah wahyu, dan filsafat pada pikiran atau renungan.
2. Teologi Islam itu bercorak filsafat. Itulah sebabnya oleh sementara penulis Ilmu Teologi Islam sering digolongkan kepada Filsafat.5 Tugas dan peranan Teologi (Islam), sebagaiman disinggung adalah bertujuan memperkuat dalil-dalil kepercayaan Islam dalam menghadapi musuh-musuhnya. Barangkali atas dasar hajat inilah sampai generasi sekarang terhadap orang-orang yang namanya terpelajar dianjurkan dan diberikan pelajaran filsafat. Padahal kalau memandang kebelakang kemasa-masa jaya filsafat menguasai sarjana-sarjana Islam itu, masa sesudahnya timbul pertentangan yang menolak filsafat, dan menyatakan berbahaya mempelajarinya atas dasar pertimbangan-pertimbangan agama pula. Dari itu andai kata pada masa-masa sekarang orang Islam perlu tahu filsafat dan supaya tetap di pelajarinya, filsafat yang bercorak manakah yang sekira dapat diterima oleh segala pihak kaum Muslimin.
3. Ajaran Neo Platonis membawakan pengaruh timbulnya faham Sufi atau Misticisme dalam Islam. Yang menjadi persoalan, sejauh manakah faham sufi itu dengan prinsip ajaran Islam itu sendiri, padahal sikap Islam terhadap kehidupan lahir, lain sekali dengan prinsip-prinsip Nasrani.












BAB 3
STUDY TENTANG FILOSOF-FILOSOF ISLAM

3.1. Al Kindi
3.1.1. Riwayat Hidup Al-Kindi.
Al Kindi adalah putra Gubernur Kufah Ishak Al-Sabah. Ia dilahirkan pada masa pemerintahan khalifah Harun ar-Rasyid dimana orang tuanya masih menjabat gubernur di Kuffah. Tahun kelahiran dari Al-Kindi tidak begitu jelas sehingga berbeda-beda dikemukakan oleh para ahli ilmu pengetahuan. Hal ini berkemungkinan tidak adanya pencatatan kelahiran pada masa itu. Dr. Harun Nasution mengatakan tahun 801 M sedangkan A. Hanafi MA mengatakan tahun 806 M. Mengenai wafatnya ada persamaan yaitu pada tahun 873 M.
Al – Kindi adalah keturunan Arab Selatan yang nenek-neneknya mempunyai hubungan nasab dengan Ya’cub bin Qahthan yaitu nenek pertama dari Arab Selatan.1
Pendidikan yang pertama sekali diterima oleh Al-Kindi ialah membaca al-Qur’an, menulis dan berhitung. Al- Kindi mendapatkan pendidikan anak-anak bangsawan pada waktu itu, disamping orang tuanya mendatangkan guru untuk mendidiknya. Sehingga menjadi orang yang pandai dan terdidik dengan baik.
Masyarakat Islam di masa Al- Kindi ini adalah dalam situasi kejayaan pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Al – Makmun. Pada masa itu umat Islam hidup dalam situasi kebudayaan yang sangat tinggi dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan yang ada disekitarnya.
Pada masa sebelumnya bahkan juga pada masa Al- Kindi yang paling banyak mempengaruhi kalangan pemerintahan adalah kaum fuqaha yang sangat anti kepada filsafat. Bahkan dikatakan oleh para fuqaha bahwa mempelajari filsafat adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh agama karena dapat merusak keyakinan. Dengan demikian Al-Kindi mendapatkan tantangan yang
berat dari kaum fuqaha ini. Sering terjadi perdebatan antara Al-Kindi dengan Fuqaha, terkadang meruncing dengan saling mencari kelemahan masing-masing. Dalam usaha Al-Kindi memperkenalkan filsafat kepada Islam, ia ditentang keras oleh para ahli Fiqh. Dalam usahanya memperkenalkan filsafat ia menempuh dua jalan yaitu memaparkan apa adanya yang diambil dari sumber aslinya, kemudian dia memberikan ulasan terhadap masalah-masalah yang dikemukakannya itu. Disamping itu perjuangan Al-Kindi yang dapat dirasakan oleh masyarakat Islam ialaha usahanya untuk menselaraskan antara agama dan filsafat. Ia berkesimpulan bahwa agama tidak bertentangan dengan filsafat sebagaimana yang diagungkan oleh ahli fiqh pada waktu itu.
Usaha lain yang dilakukannya ialah menterjemahkan buku-buku yang bercorak filsafat dan ilmu lainnya, yang terkadang diberinya komentar dan ulasan sehingga dapat dipahami oleh pembaca. Disamping itu ia memberikan uraian tersendiri tentang hal itu dan kadang-kadang terselip pula buah pikirannya yang berbeda dengan pendapat dalam buku yang diulasnya.
Usaha Al-Kindi ini bila ditilik dari arena filsafat secara keseluruhannya tidak banyak mengandung arti, karena Al-Kindi sendiri tidak mempunyai suatu sistem filsafat tertentu tetapi tidak lebih dari komentar.2 Tetapi kalau ditinjau karyanya itu kemudian dikaitkan dengan masa kehidupannya, Al – Kindi adalah merupakan orang besar dalam lapangan filsafat, karena ialah satu-satunya filosof berketurunan Arab yang mula-mula memperkenalkan filsafat ke tengah-tengah masyarakat dan menilai filsafat sebagai suatu ilmu yang tidak bertentangan dengan agama Islam bahkan filsafat akan dapat memperkuat argumentasi Islam.
Pada masa itu sudah banyak terdapat perdebatan-perdebatan tentang teologi dengan memakai argument-argument akal, yang sudah barang tentu memakai cara-cara berfikir filsafat. Dengan melalui penerjemahan yang dilakukan Al-Kindi, ia banyak sekali mendapatkan ilmu pengetahuan yang kemudian ia terkenal dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan antara lain, astronomi, geometri, musik, akhlak, ilmu jiwa, obat-obatan dan filsafat.

3.1.2 Pemikiran-pemikiran Al-Kindi.
a. Pandangan Al-Kindi terhadap filsafat.
Pendapat Al-Kindi tentang filsafat dapat diketahui pada tulisannya dalam risalah Al-Falsafah al-Ula ( first pilosophy ) yang ditunjukannya kepada Khalifah Al-Mu’tasim ( 833-842 ), dalam uraiannya itu ia telah membuat batasan atau defenisi filsafat sebagai suatu pengetahuan tentang realitas benda-benda, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh manusia. Sedangkan filsafat metafisika lebih terjurus lagi katanya ialah sebagai pengetahuan tentang realitas pertama ( first Reality ) yang menjadi sebab semua realitas.3
Disamping itu ia mengatakan bahwa filsafat adalah suatu ilmu yang sangat bermanfaat dan mulia yang tidak dapat ditinggalkan oleh orang yang merasa dirinya berpikir. Sebenarnya kata-kata Al-Kindi itu ditunjukannya kepada fuqaha yang sangat menentang filsafat pada waktu itu, karena dianggap mereka bahwa filsafat adalah ilmu orang kafir.
Sikap fuqaha inilah kelaknya yang sangat menghambat perkembangan filsafat di kalangan umat Islam.4
Al-Kindi mengatakan bahwa filsafat dan agama adalah dua buah pengetahuan yang sejalan dan tidak ada pertentangan di dalamnya, dengan pendapatnya itu ia telah memberikan hubungan yang kokoh antara keduanya. Filsafat mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, ia mengemukakan 3 buah alasan :
1. Pertama, agama itu sebahagian dari filsafat, sebab filsafat adalah pengetahuan tentang kebenaran, barang siapa yang berpendapat bahwa pengetahuan yang seperti ini berlawanan dengan agama maka ia sendirilah yang tidak beragama.
2. Kedua, wahyu diturunkan kepada Nabi oleh Tuhan untuk memberikan petunjuk kepada manusia yang sudah diberi oleh Tuhan akal dan pikiran, agar manusia bisa mengetahui kebenaran, tentu saja kebenaran filsafat yang ditunjang oleh akal dan pikiran akan cocok
dengan kebenaran waktu, dan tidak akan ada perselisihan diantara keduanya.
3. Ketiga, usaha filsafat adalah diatur dengan logika, sedangkan dalam agama logika menempati tempat yang terhormat, karena Tuhan menyuruh manusia untuk mepergunakan akal fikiran.5
Dalam tulisan-tulisan Al-Kindi tentang filsafat sebenarnya ia sangat dipengaruhi oleh filsafat Plato dan Aristoteles, namun dicelah-celah pendapat kedua tokoh itu, ia sendiri mempunyai pandangan yang berbeda, karena ia mempunyai latar belakang keagamaan yang berbeda dengan kedua tokoh itu. Misalnya Aristoteles mengatakan bahwa yang disebut sebab pertama adalah penggerak yang tidak bergerak, sedangkan Al-Kindi mengatakan sebab pertama itu ialah Tuhan Yang Maha Esa ( ALLAH ), yang Maha mengetahui dan Maha segalanya.

b. Penciptaan Alam.
Corak pemikiran Al-Kindi tentang terjadinya alam semesta ini masih bercorak Aristoteles dan Platonisme, walupun ia telah menggabungkan kedua pendapat tersebut. Alam ini menurut penuturan Al-Kindi mempunyai illat ( sebab ) yang jauh dan sebab yang jauh inilah yang dikatakannya sebagai pencipta, ia menyebutnya dengan “ALLAH”, kemudian Allah pulalah yang menjadikan illat-illat yang berada dibawahnya. Karena adanya penciptaan dari illat pertama
(Tuhan), oleh karena itu Al-Kindi tidak mengakui tentang ke-Qidaman alam, yang oleh Aristoteles mengakui ke-qidaman alam ini.6
Al-Kindi mengemukakan teorinya itu dengan mengambil teori dari Aristoteles tentang sebab-musabab benda. Aristo membagi sebab kepada empat sebab yaitu : sebab materi, sebab form, sebab kerapian ( efficient ), dan sebab tujuan (final).7 Argumentasi Al-Kindi mengenai penolakannya terhadap qadimnya alam ia mengemukakan alasan dengan mengikuti sepenuhnya ajaran-ajaran yang ada dalam agama Islam dan pemikiran-pemikiran Mutakallimin pada masanya. Dalilnya berpangkal pada arti gerak dan waktu, dan pertautan keduanya, juga pertaliannya dengan benda. Zaman adalah zamannya benda, karena zaman itu tidak mempunyai wujud tersendiri. Begitu pula gerak adalah gerak benda itu sendiri, karena gerak tidak mempunyai wujud tersendiri. Benda dalam alam ini bagaimanapun juga mengalami perobahan dan pergantian, baik dalam bentuk kejadian maupun kemusnahan. Tiap-tiap gerak berarti berbilangnya masa benda. Karena itu maka gerak hanya terdapat pada apa yang mempunyai zaman. Berdasarkan itu maka gerak ada apabila ada benda, karena sesuatu hal yang tidak mungkin bila ada benda yang semulanya diam kemudian timbul gerak. Sedangkan kejadian merupakan salah satu macam gerak, oleh sebab itu yang qadim tidak bergerak dan tidak mungkin berobah, dan tentu saja tidak terkena zaman. Sebab itu, apa yang dikatakan benda, gerak dan zaman berada bersama-sama, dimana salah satunya tidak ada yang mendahului.8
Siapa pencipta alam ini sebenarnya ? untuk menjawab pertanyaan itu Al-Kindi juga mengambil teori Plotunis, walaupun kesimpulannya nanti berbeda dengan Plotunis sendiri. Yang terakhir ini berpendapat bahwa penciptaan itu mengalami tiga tingkat yaitu : akal, jiwa dan materi. Sebelum adanya akal, yang ada ialah akal. Pertama yang merupakan akal pencipta atau yang disebutnya “Yang Esa”. Bagi Al-Kindi apa yang disebut dengan “Yang Esa” ialah ALLAH sebagaimana yang telah diterangkan didalam al-Qur’an, Ia berada diatas akal, Ialah yang disebut absolut, benar dan abadi, sedangkan yang lainnya tidak abadi. Disamping itu Al-Kindi membedakan antara Jiwa dan Akal. Ia menerangkan adanya “perasaan” dan “akal”. Perasaan termasuk kepada bagian jiwa, dan akal termasuk dalam fikiran. Segala sesuatu yang diketahui oleh jiwa dan akal hanya terdapat pada dirinya sendiri.9
Tentang sifat-sifat “Yang Esa” itu Al-Kindi mengikuti pendirian dari pada aliran Mu’tazilah. “Yang Esa” itu bersifat azali yaitu zat yang sama sekali tidak bisa dikatakan pernah tidak ada, atau pada permulaannya ada, melainkan zat yang ada sebab yang menyebabkan ada, Ia bukan subjek dan juga bukan predikat.10 Ia dikatakan wajibul wujud, sedangkan yang lainnya wujud mumkin, karena adanya tergantung kepada wajibul wujud.
Jelaslah disini bahwa pendapat-pendapat Al-Kindi yang banyak berorintasi kepada ajaran-ajaran Plotinus, akan tetapi ia tidak meninggalkan dasar-dasar ajaran agamanya yaitu Islam. Hal inilah yang menjadikan Al-Kindi berbeda dengan filosof terdahulu, dan ia mempunyai kepribadian tersendiri dalam lapangan filsafat. Walaupun ia tidak mempunyai suatu sistem filsafat tersendiri.


3.2 Al Farabi.
3.2.1 Riwayat Hidup Al-Farabi.
Ia dilahirkan di Wasidi dekat Farab ( Transoxia ) daerah Turkistan pada tahun 870 M. Nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Turchan bin Awzalagh Al Farabi. Bapaknya seorang perwira tentara berasal dari Persi dan ibunya berasal dari Turkestan.
Ia pernah tinggal di Damaskus dan belajar di sana tentang falsafah Yunani kemudian pada masa mudanya pergi ke Bagdad sebagai pusat pemerintahan Islam dan pusat ilmu pengetahuan.
Disana ia belajar logika kepada seorang guru Abu Bisr Matta bin Yunus sebagai penterjemah, disamping itu juga belajar tata bahasa Arab pada Abu Bakar As Sarraj. Atas saran gurunya dia pindah ke Harran sebagai salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil dan mempelajari filsafat kepada seorang guru Yuhana bin Hailan.
Kemudian ia pindah ke Bagdad dan bermukim disana selama lebih kurang 30 tahun. Pada masa ini ia mulai mengarang, mengajar serta mengulas buku-buku filsafat, terutama filsafat Aristoteles. Pada tahun 330 H ( 940 M ) mendapat undangan dari Ali Ibnu Hamdan di Hallab ( Aleppo ), disini dia menetetap sampai akhir hayatnya tahun 339 H.




3.2.2. Dasar-dasar Pemikiran Filsafat Al Farabi.
Selain dari pendidikan dan bakat yang dilalui dan dimiliki seseorang, juga kondisi lingkungan ikut membentuk kepribadian seseorang, bahkan menentukan juga jalan pikirannya, demikian juga halnya dengan Al Farabi.
Sebelum kedatangan Al Farabi kebebasan berfikir dalam dunia Islam terutama dalam memahami nash-nash agama, yang menimbulkan beberapa aliran fiqh atau mazhab, begitu pula aliran-aliran politik misalnya aliran Syi’ah, Khawarij, dan aliran teologi.
Begitu pula filsafat Yunani telah berkembang pula di zamannya, dimana pada masa Al-Makmun ( 830 M ) telah didirikan pusat lembaga ilmiyah di Bagdad. Bahkan sebelumnya Al-Kindi telah mulai membicarakan falsafat dengan risalah-risalah yang diberi corak Islam.
Agaknya kebebasan berpikir dalam Islam ini juga merupakan faktor yang membawa Al- Farabi sebagai seorang filosof Muslim, menguasai berbagai bidang ilmu, ilmu alam, ilmu bintang, metafisika dan lain-lain. Dia berkeyakinan falsafat itu walaupun berbeda aliran dan coraknya, tujuan hanya satu yaitu mencari kebenaran.11
Diantara aliran filsafat Yunani yang mempengaruhi Al-Farabi adalah Plato, Aristoteles dan Neo Platonisme, misalnya teori negeri utama berdasarkan filsafat Plato, dalam metafisika bersumberkan filsafat Aristoteles dan mengenai emanasi dari Platinus. Sebagai seorang muslim yang berpendapat bahkan filsafat itu bertujuan mencari kebenaran, sedangkan agama juga melayani mengajarkan kebenaran.

3.2.3 Filsafat Al-Farabi.
Filsafat menurut Al-Farabi adalah mengetahui hakikat segala yang maujud disebabkan dia ada, secara tidak langsung dia telah membedakan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan. Bahkan ilmu kalam dan ilmu fiqh termasuk cabang ilmu dalam Islam. Jadi filsafat Al-Farabi soal metafisika, mengenal hakikat segala yang wujud. Mulai dari wujud Tuhan, bagaimana terjadinya wujud alam ini, wujud manusia dengan kehidupannya yang ijtimai, disamping itu disinggung oleh Al-Farabi mengenai kenabian dan bagaimana nabi berhubungan dengan Tuhan.
Selanjutnya di bawah ini akan diungkapkan beberapa filsafat Al-Farabi, diantaranya :
a. Wujud.
Soal metafisika dapat ditinjau dari tiga segi.12
1). Dari Existensi ( Hakikat ) keberadaannya wujud sesuatu atau secara ontologis.
2). Pokok utama segala yang wujud atau penggerak dan penyebab yaitu secara teologis.
3). Dengan prinsip utama tentang gerak dasar menurut ilmu pengetahuan (berdasarkan sebab akibat).
Hakikat wujud sesuatu terdiri dari metari dan bentuk. Bentuk itulah yang merupakan hakekat sesuatu dan bentuklah yang membuat berupa suatu bangunan.
Bentuk tidak terpisah dari materi, hanya dalam akal dapat dipisahkan, misalnya meja dari kayu, kayu adalah materinya dan bangunan meja itulah bentuknya atau hakekat meja. Meja memberi bentuk kepada materi ( kayu ). Begitu pula kursi almari dan sebagainya. Sepintas lalu dapat dikatakan bentuk berobah-obah, tetapi sebenarnya materilah yang berobah-obah dengan arti berobah untuk memperoleh bentuk-bentuk tertentu.
Selanjutnya al Farabi mengatakan yang maujud itu dua bagian satu diantaranya kalau dipandang zatnya tidak mesti wujudnya, ini dinamakan mumkinul wujud seandainya kalau kita takdirkan tidak ada tidaklah mungkin pula serta mustahil, maka tidak dapat dihindarkan lagi wujudnya itu karena suatu illat ( sebab ) dan apabila wujudnya karena suatu illat berarti wujudnya disebabkan oleh karena yang lain. Kemungkinan wujud itu semenjak azali atau dalam waktu yang tidak ditentukan. Sesuatu wujud yang mungkin dari sebab musababnya akan sampai kepada suatu yang wajib dan itu maujud pertama. Al Farabi mengkaitkan hakekat wujud sesuatu dengan kemungkinan ada atau tidak adanya sesuatu itu. Kemungkinan adanya dapat dilihat dengan mata misalnya bumi ini, dan kemungkinan tidak adanya sewaktu bumi itu belum berbentuk jadi berarti ada. Adanya mesti didahului ada yang lain sebagai pemberi sebab adanya. Pemberi sebab ini didahului oleh pemberi sebelumnya dan begitulah seterusnya. Akhirnya tentu sampai kepada pemberi wujud pertama yang tidak ada wujud sebelumnya.
Dengan demikian sampailah Al Farabi menetapkan adanya wujud pertama dengan mempergunakan argument ontologis dan teologis.
Antara bentuk dan materi ada hubungan gerak yang kekal yaitu bentuk menggerakkan dan materi digerakkan. Gerak timbul oleh perbuatan yang menggerakkan terhadap yang digerakkan sehingga terjadi suatu penggerak dan yang digerakkan dan akan berakhir kepada penggerak pertama yang tidak bergerak dan tak berobah. Penggerak pertama tentulah satu dan sempurna, merupakan akal yang murni dan tak berhajat kepada yang lain yang disebut dengan Tuhan.

b. Hakekat Tuhan.
Tentu sebagai penyebab pertama dari hakekat wujud dengan berbagai tinjauannya, itulah yang dimaksud dengan Allah dalam keyakinan ajaran Islam, maka sesuai dengan ajaran Islam.
Kalau Tuhan sendiri dari materi dan form, tentu sama saja wujudnya dengan alam atau makhluk-Nya. Kalau Tuhan terdiri dari keduanya tentu akan terdapat pula susunan pada zat-Nya. Sedangkan Tuhan Esa zat-Nya. Dengan demikian wujud zat Tuhan sempurna, lain dari wujud alam, tidak permulaan, azali dan selalu ada.
Kalau Tuhan lebih dari satu, tentu mungkin sama-sama sempurna wujud-Nya, atau mungkin ada perlainan pada sifat-sifat-Nya yaitu sifat yang umum dimiliki bersama dan sifat khusus pada masing-masing dan ini mustahil.
Wujud Tuhan yang dikemukakan Al Farabi secara logika ini telah membantu memudahkan orang serta menambah keyakinan kepercayaan tentang Allah.
c. Nadzariatl faidl ( teori emanasi atau pancaran ).
Teori emanasi ini adalah penjelasan untuk menerangkan bagaimana terjadi yang banyak dari yang satu. Teori ini merupakan gabungan dari Aristoteles dan Platinus. Gambaran ringkasnya adalah sebagai berikut :
Karena Tuhan wujud pertama, tentu yang dipikirkannya adalah dirinya sendiri, dengan arti dia berpikir dan yang dipikirkan ( aqal- yang aqil dan ma’qul ). Dengan jalan ta’qul ini mulailah ciptaan Tuhan dengan pelimpahan (emanasi) sebagai berikut :
- Wujud I berpikir tentang dirinya, timbul wujud II, yang disebut akal I.
- Wujud II berpikir tentang wujud pertama ( Tuhan ), timbul wujud III atau akal II, tentang dirinya terpencarlah langit pertama.
- Wujud III/ akal II berpikir tentang Tuhan timbul wujud IV atau akal III tentang diri Nya terpencarlah bintang-bintang tetap ( Al kawakib ash shabitah ).
- Wujud IV atau akal III berpikir tentang Tuhan timbul wujud V atau akal IV, tentang diri-Nya terpencar Saturnus ( Az Zuhal ).
- Wujud V/ akal IV berpikir tentang Tuhan timbul wujud VI atau akal V, tentang diri-Nya terpencarlah planet Yupiter ( Al Musytari ).
- Wujud VI/ akal V berpkir tentang Tuhan timbul wujud VII, atau akal VI, tentang diri Nya terpencarlah planet Mars ( Al Marrich ).
- Wujud VII/ akal VI berpikir tentang Tuhan timbul wujud VIII atau akal VII, tentang diri-Nya terpencar matahari ( Asy Syamsu ).
- Wujud VIII/ akal VII berpikir tentang Tuhan timbul wujud IX atau akal VIII, tentang diri-Nya terpencar Uranus ( Az Zahrah ).
- Wujud IX/ akal VIII berpikir tentang Tuhan timbul wujud X atau akal IX, tentang diri Nya terpencar planet Marcurius ( Al Utarid ).
- Wujud X / akal IX berpikir tentang Tuhan timbul wujud XI atau akal X, tentang diri-Nya terpencar planet Bulan ( Al Qamar ).
Wujud XI tidak lagi menimbulkan wujud lain tetapi dari akal X terpancarlah jiwa, bumi dengan materi pertamanya, yaitu unsur api, udara, air dan tanah.13

d. Jiwa Manusia.
Jiwa manusia beserta materi asal memancar dari akal ke sepuluh dan mempunyai daya-daya sebagai berikut :
1). Daya gerak ( al muharrikah ) yang mendorong untuk makan, membela diri dan untuk berkembang.
2). Daya mengetahui ( al mudrikah ) yang mendorong untuk merasa dan mengkhayal.
3). Daya berpikir ( an nathiqah ) yang mendorong untuk berpikir secara praktis dan selanjutnya untuk daya berpikir secara teoritis. Kemudian daya berpikir ini terdiri dari tiga tingkatan :
a). Akal potensil, yang mempunyai daya tangkap melalui panca indra dalam arti dapat menangkap bentuk-bentuk materi.
b). Akal aktuil, mempunyai daya tangkap yang lebih tinggi lagi yaitu menangkap arti dan konsep sesuatu, telah berwujud dalam akal dan terlepas dari materinya.
c). Akal intelek ( mustafat ) yang dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak dikaitkan dengan materi atau mempunyai kesanggupan berhubungan atau menangkap inspirasi dari akal kesepuluh yang berada di luar diri manusia. Akal kesepuluh juga disebut akal aktif atau disebut malaikat Jibril.
Secara tidak langsung Al Farabi telah mengemukakan bahwa pendidikan dan latihan menentukan untuk perkembangan akal manusia mulai dari daya mengkhayal (fantasi) sampai kepada tingkat akal intelek atau daya kemampuan akal yang tertinggi.
Begitu pula Al Farabi telah membedakan roh dan jiwa. Roh timbul dari pancaran ilmu Tuhan bersama wujud pertama, sedangkan jiwa timbul dari akal kesepuluh bersama dengan materi yang empat.
Jiwa adalah materi, dan roh adalah pemberi bentuk kebudayaan abstrak. Jadi hakekat manusia gabungan antara jiwa dan roh yang mempunyai daya kemampuan berpikir, sedangkan badan adalah wadahnya, dengan arti badan akan hancur jiwa akan kekal, tanpa roh jiwa tidak akan mempunyai daya berpikir. Agaknya Al Farabi dengan filsafat kejiwaan ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena roh adalah soal abstrak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

hidupkan dakwah dikampus antum, atau antum lebih baik merasa tanpa dakwah.. wallahu a'lam