Senin, 19 Desember 2011

DAKWAH KITA KINI DAN ESOK

Awal abad 20 menandakan sebuah perkembangan yg cukup menarik tentang pembaruan Islam di Indonesia. Berdirinya organisasi keislaman seperti Persis dgn tokohnya A. Hassan Isa Anshari M. Natsir dkk. Al-Irsyad Al-Islamiyyah dgn pendirinya Syaikh Ahmad As-Surkati dan Muhammadiyah dgn pendirinya KH. Ahmad Dahlan membawa misi secara serempak tentang perlunya tajdid dalam substansinya yg paling dalam adalah kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta memerangi segala bentuk syirik bid’ah khurafat dan takhyul. Hal ini bukanlah suatu kebetulan sejarah sebab proses yg mendahuluinya adl adanya sebuah wacana umum kebangkitan Islam yg dipicu oleh tokoh-tokoh yg menyerukan Pan Islamisme semisal Jalaluddin Al-Afghani Syaikh M. Rasyid Ridha dll. sebagai respon alami terhadap keterbelakangan kejumudan dan kebodohan secara spiritual sosial politik dan budaya yg melanda kaum Muslimin. Puncaknya adl runtuhnya Daulah Utsmaniyah sebagai representasi dari sebuah khilafah Islamiyah yg diakui kaum Muslimin di masa Sultan Abdul Hamid II oleh seorang agen Yahudi bernama Mustafa Kemal Attaturk. Seiring dgn itu mulai masuknya kitab-kitab referensi penting ke tanah air melalui para hujjaj yg berasal dari tanah air seperti “Subulus Salam” karya Syaikh Ash-Shan’any dari Yaman “Irsyadul Fuhul” karya Imam Asy-Syaukany dll. Oleh sebagian kalangan pemikiran pembaruan itu lalu dicap sebagai Gerakan Wahabi . Sayangnya cap Wahabi di sebagian kalangan cukup berhasil sehingga mematahkan upaya-upaya komunikasi dan dialog secara lbh sehat dan ilmiah serta jauh dari politicing fitnah dan tuduhan tanpa bukti; dalam waktu yg cukup lama. Upaya pembaruan ini cukup berhasil dgn berdirinya berbagai sekolah-sekolah dan pranata sosial lainnya hingga pada momentum yg cukup mengesankan adl berdirinya kekuatan politik umat IslamIndonesia bernama Masyumi yg dimotori oleh tokoh-tokoh pembaru. Jika kemudian terjadi preseden buruk dgn dibubarkannya Masyumi oleh presiden Soekarno di tahun 1951 hal itu tidak bisa meruntuhkan begitu saja militansi mereka utk menyebarkan gagasan-gagasan Islam tentang visi kehidupan secara menyeluruh melalui gerakan dakwah pendidikan dan sosial di masa-masa selanjutnya. Justru sebaliknya terdapat suatu opini yg jamak diketahui oleh para pemerhati problematika umat Islam yg jujur bahwaIndonesia meskipun mayoritas muslim bahkan sebagai negara terbesar yg berpenduduk muslim tapi secara politik sosial ekonomi dan kultural masih didominasi oleh wacana-wacana sekuler dan nasionalisme yg sangat kontra produktif dgn Islam. Oleh krn itu proses penyadaran pemahaman dan pemberdayaan harus terus digalang oleh tidak saja oleh segenap institusi umat Islam tapi juga oleh semua kekuatan elemen umat melalui gerakan dakwah yg merupakan ajakan-ajakan sistematis dan terencana dgn obyek manusia secara umum agar beraqidah tauhid yg lurus dan murni beribadah yg benar dan berakhlaq yg mulia. Dari sini muncul sebuah problem praksis bagaimanakah roda dakwah mesti digulirkan ? Kenyataannya bahwa sebagian du’at lbh mendahulukan aspek syi’ar daripada substansi Islam berupa aqidah yg benar. Tanpa mengurangi makna totalitas Islam dakwah tetap butuh pada prioritas . Merujuk pada kehidupan dakwah Rasulullah SAW. pada periode Makkah dimana beliau melakukan pembenahan aqidah secara simultan dgn menekankan keharusan mengesakan Allah dan menjauhi segala indikasi penyekutuan terhadap-Nya. Karenanya perbaikan umat kemarin sekarang dan akan datang harus diupayakan berda di jalan ini. Sebab kita tidak butuh seorang yg melek budaya Islam atau ‘melek’ politik Islam tetapi tidak mengerti aqidah yg lurus dan cara beribadah yg benar. Problematika Dakwah di Indonesia Tantangan dalam prespektif kehidupan sejatinya mengasah kecerdasan dan kreatifitas manusia utk menyelesaikannya dan merubahnya menjadi harapan. Dalam konteksIndonesia problematika yg menyangkut dakwah akan selalu ada selama denyut nadi umat Islam masih berdetak. Tantangan kristenisasi kebodohan maraknya kelompok-kelompok yg mengaku menyuarakan Islam disharmoni dgn pemerintah setempat ataupun policy nasional kebebasan pers dan media massa yg tidak terkendali dan bertanggung jawab dsb adl wacana-wacana eksternal dalam problematika dakwah. Dalam kasus internal profesionalisme da’i dalam pengertian yg seluas-luasnya masih menjadi keluhan mendasar. Karena da’i sebagai agent of change harus mempunyai visi yg jelas tidak saja menyangkut wawasan Islam yg utuh tapi juga visi menyeluruh Islam tentang politik ekonomi sosial dan budaya dalam mengarahkan umat Islam kepada suatu tatanan yg lbh mapan establish maju dan diperhitungkan di hadapan umat-umat lain. Misi Islam tidak saja agar Islam menjadi sebuah keniscayaan nilai yg terimplementasikan dalam kehidupan menyeluruh umat manusia. Ia adl sebuah wacana praksis yg meskipun tidak bisa dipaksakan kepada manusia akantetapi hanya dgn itulah keadilan dalam maknanya yg paling luas dan dalam dapat terlaksana; dalam sebuah kekhilafahan yg berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sepintas hal diatas terlalu diatas awang-awang dan “bagaikan pungguk merindukan bulan”. Tapi sesungguhnya ia tidak seperti impian cinta Romeo kepada Juliet yg dibuat oleh Shakespeare -akhirnya- tak tersampaikan. Ia adl sebuah cita-cita adiluhung sekaligus merupakan kewajiban dan amanah yg diemban oleh tiap individu muslim. Setiap upaya ishlah hendaknya tidak diupayakan secara tambal sulam tapi merupakan episode-episode yg berurutan dan tak mengenal henti hingga visi rahmatan lil ‘alamin menjadi payung bagi peradaban kemanusiaan secara universal. Paragraf ini hendak menekankan bahwa kemunduran umat Islam di akhir Abad Pertengahan dicirikan dgn hilangnya tradisi belajar dan semangat spiritualis kaum Muslimin. Terdapat cukup bukti dalam sejarah bahwa maraknya perkembangan pemikiran-pemikiran dan pemahaman yg destruktif terhadap Islam turut mengambil peran bagi keruntuhan peradabannya. Ini adl sebuah kenyataan kompleks dimana semangat keislaman yg kaffah menjadi merosot tradisibelajar yg hilang pemahaman aqidah yg rancu upaya-upaya destruktif musuh-musuh Islam pertikaian-pertikaian internal yg tak kunjung padam dan runtuhnya sendi-sendi amar ma’ruf nahi mungkar merupakan sebab-sebab utama dari keruntuhan peradaban umat Islam. Oleh krn itu bukanlah sebuah penyederhanaan masalah jika dalam memulai sebuah “penyusunan kekuatan” umat Islam harus merebut kembali tradisi belajarnya yg belum pernah dikenal dalam sejarah kemanusiaan sebelum dan sesudah mereka. Adalah Jabir bin Abdullah Al-Anshari yg menempuh perjalanan sebulan utk menemui Abdullah bin Unas Al-Juhani “hanya” utk mendapatkan sebuah hadits sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari. Pun pesan perdana yg diperintahkan oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. dan umatnya adl “membaca” dalam pengertian yg seluas-luasnya. Hanya dgn usaha yg sungguh-sungguh aqidah yg benar dan pengetahuan yg luas sebuah “rennaisance” umat Islam menjadi niscaya. Lebih lanjut “Masa depan kaum Muslim akan lbh banyak ditentukan oleh perencanaan yg hati-hati dan langkah-langkah konkret bukan oleh keindahan rumusan dan kegairahan memberikan nasihat-nasihat moral. Lembaga-lembaga belajar dan intelektual Muslim harus berdiri di barisan terdepan dalam mengampanyekan reformasi sosial dan ekonomi di seluruh dunia Islam.” Adalah kenyataan bahwa Barat menaklukkan negeri-negeri Islam setelah melewati proses mempelajari menelaah mengetahui lalu menguasai. Dalam sebuah kuliahnya di Kalkutta pada 1882 Jamaluddin Al-Afghani menegaskan “Kini para imperialis Eropa itu sudah menancapkan kuku mereka di seluruh penjuru dunia. Orang-orang Inggris sudah sampai di Afghanistan; sedangkan orang-orang Prancis sudah menduduki Tunisia. Penjajahan penyerangan dan penaklukan ini dalam kenyataannya bukanlah berasal dari orang-orang Inggris atau Perancis. Itu merupakan ilmu pengetahuan yg dimana-mana memanifestasikan kebesaran dan kekuatannya.” Musibah terbesar yg menimpa dunia ilmu pengetahuan Islam adl adanya dikotomi sekular yg intinya adl pemisahan ilmu-ilmu agama dan ilmu non agama yg kemudian memisahkan antara ajaran agama yg bersifat mahdhah dan tuntunan Islam yg utuh tentang kehidupan; hal yg tidak pernah dikenal oleh kaum Muslimin generasi sebelumnya. Dikotomi ini tidak saja bertentangan dgn pesan integral Al-Qur’antetapi juga kenyataan bahwa cendekiawan-cendekiawan Islam Abad Pertengahan adl meminjam istilah Ibnu Khaldun- para mutafannin . Ibnu Qayyim Al-Jauziyah tidak saja seorang alim dalam berbagai ilmu Islam tapi juga seorang pujangga kenamaan yg melahirkan karya-karya brilian. Kemudian berderetlah nama-nama seperti Ibnu Rusyd Al-Biruni Al-Farabi dll. Karenanya semua disiplin ilmu yg ditekuni secara spesialis oleh para pelajar dan mahasiswa tidak bisa dilepaskan bahkan harus sejalan dgn ajaran Islam. Agar semua capaian-capaian ilmu dan teknologi membawa kemaslahatan dan kedamaian di muka bumi dan bukan justrukontra produktif bagi kehidupan manusia. Bagi umat Islam Indonesia hal di atas tampaknya masih seperti kereta yg baru saja meninggalkan stasiun. Urgensi Kaderisasi Dakwah Merujuk pada profesionalisme da’i upaya utk meningkatkan kualitas da’i harus terus ditumbuhsuburkan. Maraknya training pelatihan-pelatihan da’i yg diselenggarakan oleh berbagai organisasi dakwah tidak saja dalam bingkai diatas tapi juga dalam rangka menyatukan rentak dan langkah para du’at. Di samping itu para du’at dituntut utk memperbarui keikhlasan mereka agar dapat melahirkan ketekunan dan kesungguhan yg tak lekang oleh panas. Harus dipahami bahwa kewajiban dakwah bukanlah sebuah pekerjaan sambil lalu tapi merupakan kewajiban atas tiap muslim . Karenanya tiap muslim -apapun profesinya- adl juga da’i yg dituntut utk menyampaikan misi Islam seluas-luasnya sesuai dgn kemampuan. Memahami dakwah hanya sebatas ceramah dan khutbah saja adl sebuah preseden buruk bagi masa depan dakwah.Karena itu kaderisasi da’i melalui individu institusi keluarga di mana orang tua menjadi sokoguru institusi-institusi dakwah media massa dll harus terus disemarakkan sehingga masalah mandeknya prosesbelajar mengajar di sebuah TPA krn ketiadaan tenaga pengajar tidak lagi terdengar. Fajar Sedang Menyingsing Di balik capaian-capaian dakwah yg cukup mengesankan mulai awal dekade 80-an dgn berbagai variabelnya dalam bentuk intensitas pengamalan Islam yg menguat tidak boleh melenakan kita dari kenyataan yg sangat menyeramkan tentang degradasimoral yg berlangsung secara sangat sistemik dan dinamis melalui berbagai alat penyebaran informasi. Bukan satu kebetulan jika membanjirnya film-film pornografi seiring dgn turunnya harga barang-barang elektronik. Pada saat yg sama narkoba menjadi suatu kenyataan yg biasa-biasa saja. Untuk generasi muda Islam saat ini sebagai akibat logis adl munculnya sebuah wajah generasi muda yg kabur akan identitas dan tujuan hidup dgn mentalitas lemah dan keropos. Jika kemudian kantong-kantong mayoritas muslim menjadi ladang pembantaian oleh kaum kafir di masa yg akan datang itu adl sebuah kelumrahan jika umat Islam tidak segera berbenah diri. Walau demikian Islam mengajarkan optimisme utk berjuang dgn niat yg ikhlash tekad membaja dan perjuangan yg sungguh-sungguh tak kenal lelah. Seorang muslim dalam persfektif Islam dituntut utk “menjual” dirinya dan hartanya dalam bentuk beriman pada Allah SWT. dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan Allah dgn harta dan dirinya dgn imbalan ampunan keni’matan sorga pertolongan Allah dan kemenangan yg dekat waktunya . Ulama cendekiawan dan tiap muslim yg memiliki kesadaran akan nasib umat Islam tidak bisa tinggal diam dan terus “sakit gigi” menyaksikan kenyataan memilukan ini “Jika kita masih ingin mendengar kumandang adzan dari masjid di dekat rumah kita.” .



من : ماهندرا

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

hidupkan dakwah dikampus antum, atau antum lebih baik merasa tanpa dakwah.. wallahu a'lam